top of page
Search
  • Writer's pictureWill Shi

Ekonomi Digital Indonesia Pasca Pandemi

Oleh Dr. Yujia Hu

Data Analytics, Silot


Usaha kecil menengah di seluruh dunia sangat terpukul oleh pandemi COVID-19 dan tindakan social distancing yang terjadi selama paruh pertama tahun 2020. Untuk Indonesia, di mana sebagian besar bisnisnya bersifat dagang dan berbasis kontak fisik, protokol social distancing memiliki dampak yang lebih besar. Sementara pertumbuhan bisnis digital sudah lambat dari sebelum pandemi. Terlepas dari potensi pasar Indonesia, dengan tenaga kerja sebesar 140 juta orang (terbesar di Asia Tenggara), keragaman geografis dan penduduknya ditambah dengan infrastruktur transportasi yang kurang memadai menjadi penghalang untuk terjadinya transaksi digital. Akan tetapi, pesatnya perkembangan dan adaptasi media sosial dan konsentrasi kaum muda yang lebih tinggi dari biasanya (terutama Generasi Z, berusia antara 5-24 tahun) bakal menggerakkan ekonomi negara secara fundamental menuju perdagangan digital dan berbasis rujukan, dengan karakteristik uniknya.



Piramida penduduk Indonesia bersifat ekspansif hingga usia 19 tahun, di bawah usia ini, menjadi stasioner, yang berarti angka kelahiran tetap konstan selama dua dekade terakhir dan populasi kemungkinan akan meningkat selama beberapa dekade mendatang (dengan asumsi angka kelahiran konstan di masa depan) dengan kelompok usia 0-19 tahun saat ini menjadi kelompok usia yang paling banyak saat ini dan 20 tahun ke depan (usia 20-an-39-an) jika angka kelahiran tidak meningkat.

Di awal tahun 2020 Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi 5,1%, namun pada pertengahan tahun prakiraan ini direvisi menjadi 0%, dengan tingkat kemiskinan meningkat 2% menjadi sekitar 12% secara keseluruhan. Gambaran sebenarnya tampak lebih dramatis, terutama untuk UMKM. Banyak bisnis ritel kecil yang sudah berjuang sebelum pandemi pun kini terpaksa tutup. Mereka yang memiliki properti bisnis masih bisa memperoleh penghasilan dengan mengubah fungsi lahannya, namun mereka kehilangan mayoritas pendapatan berkelanjutan mereka. Ketika situasi tampaknya sudah lebih rileks, September lalu Pemerintah menerapkan PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) jilid kedua untuk menekan peningkatan jumlah penularan.


Pedagang kaki lima populer di Jakarta menerima pesanan pelanggan untuk dibawa pulang pada September 2020, tepat sebelum PSBB gelombang kedua diberlakukan. Pelanggan berinteraksi dengan ponselnya sambil menunggu makanan.



E-commerce dan Social Commerce

Bisnis yang berorientasi digital secara alami terlindung dari kebijakan social distancing. Tokopedia mencetak rekor penjualan tertinggi selama Ramadhan 2020, terutama untuk penjualan pakaian dan barang elektronik. Sebagian besar permintaan off-line beralih ke on-line selama periode ini. Secara keseluruhan, e-commerce mengalami pertumbuhan di Indonesia, dengan meningkatnya penetrasi ponsel dan internet di kalangan milenial. Namun, industri tersebut masih terlalu kecil untuk menopang tenaga kerja yang sangat besar di negara ini.

Pertumbuhannya masih terbilang lambat karena biaya transaksi yang ditanggung oleh sistem pembayaran dan jalur logistik yang terpisah-pisah. Transfer bank giro – metode pembayaran paling popular – melibatkan terlalu banyak langkah pemrosesan, mulai dari memasukkan detail pribadi hingga verifikasi pembayaran. Sepeda motor, sarana pengiriman yang paling banyak tersedia, kurang terkoordinasi dan kurang memiliki aturan operasional, terutama di luar kota Jakarta.

Media sosial, terutama YouTube, Facebook, dan Instagram, semakin mempenetrasi masyarakat dalam beberapa tahun terakhir. Platform-platform tersebut melahirkan banyak sekali KOL dan influencer muda dan banyak usaha kecil dengan cepat belajar menggunakan Instagram untuk mempromosikan dan menjual produk mereka. Tahun ini adalah tahun penemuan. KOL mendefinisikan sendiri daya tarik sosial mereka dan pedagang mempelajari kelayakan platform digital. Pandemi dan social distancing mungkin telah mempercepat proses ini.


Pasar bagi Influencer

Saat ini, ditengah pandemi, pasar sosial commerce di Indonesia relatif kecil dibandingkan dengan ekonomi yang lebih mapan. Tim Data Analytics di Silot menganalisa pasar ini selama paruh pertama tahun 2020. Berdasarkan analisa sekitar 2000 akun Instagram yang mencakup sekitar 10% total akun yang digunakan untuk social commerce dan sekitar setengah dari akun influencer aktif selama periode tersebut, median jumlah follower per akun adalah 4500. Akun-akun tersebut disampel secara acak dan terdiri dari influencer kecil dan relatif besar (termasuk pedagang dan KOL). Secara keseluruhan jumlah follower ini masih sangat kecil jika dibandingkan dengan negara-negara Asia Timur lainnya seperti Cina dan Korea Selatan, dimana pasar social commerce lebih maju dan seorang influencer rata-rata mempunyai setengah juta followers. Namun demikian, engagement rate dari unggahan social commerce Instagram pada paruh pertama 2020 di Indonesia menunjukkan median 4% dan rata-rata 6%, atau setara dengan standar global.

Selama paruh pertama tahun 2020, engagement rate untuk akun influencer dan promosional Indonesia di Instagram bervariasi pada 0-18% pada kisaran 90%. Engagement rate median adalah 4% dan rata-rata 6%, setara dengan standar global.

Meskipun kalangan milenial Indonesia sudah sangat akrab dengan platform medsos global, platform-platform ini tidak dioptimalkan untuk karakteristik lokal social commerce. Kegiatan promosi dan rekomendasi positif pada platform global tidak otomatis dimonetisasi. Bagi kalangan influencer muda yang sedang naik daun, kemampuan untuk mengukur dampak aktivitas sosial mereka menjadi sangat penting, apalagi mengingat jumlah follower mereka masih relatif kecil.

Skema retribusi yang paling adil dan menguntungkan adalah membagi hasil dari tiap unit yang sukses diperdagangkan melalui sistem referral, namun skema semacam ini memang bukan fitur standar di media sosial global.

Di sisi lain, pedagang kecil yang berjualan di medsos, untuk menyelesaikan suatu transaksi harus bernegosiasi dan berinteraksi langsung dengan pelanggan mereka melalui aplikasi chatting seperti WhatsApp dan Line. Platform medsos lokal yang dioptimalkan dengan fitur-fitur untuk menunjang sosial commerce lokal belum dibuat. Tetapi dengan meningkatnya kekuatan Generasi Z secara digital, munculnya platform semacam ini hanya masalah waktu saja.

7 views0 comments
bottom of page